Mengenal Hustler, Hipster, dan Hacker, tiga karakter penting bagi suksesnya sebuah perusahaan. Ketahui selengkapnya tentang Hustler, Hipster dan Hacker di sini.
Doni Arzinal
08 April 2022 • 5 mins reading
Kesuksesan sebuah perusahaan tidak terlepas dari kolaborasi tim di dalamnya. Selain merumuskan sistem perusahaan dan menciptakan produk, kolaborasi tim berguna untuk saling mengisi dan mendukung dalam berinovasi agar tujuan perusahaan dapat tercapai.
Tim tersebut setidaknya harus terdiri dari orang-orang dengan tiga persona utama, yakni Hustler, Hipster, dan Hacker. Istilah tersebut diperkenalkan pertama kali oleh eks Chief Creative Officer AKQA Rei Inamoto di tahun 2012, dan kini ketiganya lebih dikenal sebagai “The Startup Triangle”.
“The Startup Triangle” adalah tiga persona ideal dalam sebuah perusahaan rintisan (startup). Ketiganya berperan penting di bidangnya masing-masing. Apabila diterapkan dengan baik, “The Startup Triangle” mampu mengurangi risiko multitasking sekaligus memaksimalkan potensi perusahaan.
Contoh nyata perusahaan yang menerapkan konsep Hustler, Hipster, Hacker adalah Apple. Tiga persona ini dapat kita lihat pada sosok mendiang Steve Jobs (Hustler), Jony Ive (Hipster), dan Steve Wozniak (Hacker). Sebagai expert di bidangnya masing-masing, ketiganya berhasil mengembangkan Apple sebagai salah satu perusahaan teknologi informasi paling terkemuka di bumi.
Lantas, kenapa tech talent di BRI perlu memahami konsep ini? Mengingat BRI sudah bukan lagi startup, apakah konsep ini masih relevan?
Walaupun identik dalam ranah startup, konsep Hustler, Hipster, Hacker nyatanya dapat dipraktikkan untuk korporasi seperti BRI. Artinya, BRI berupaya untuk adaptif dengan mengadopsi kultur kolaboratif demi menciptakan produk-produk yang kompetitif di era digital.
Baca juga: Mengenal Orbit Analyst, Apa Saja Yang Dilakukan?
Sebagai sebuah bisnis, perusahaan harus mempertimbangkan beragam cara untuk meraih profit. Oleh karenanya, tim membutuhkan sosok yang ahli dalam pengembangan bisnis. Di sinilah peran Hustler.
Hustler adalah orang yang andal dalam melakukan negosiasi dan mengatur pendanaan perusahaan. Peran Hustler dalam sebuah perusahaan biasanya diemban oleh Chief Executive Officer (CEO). Maka, tidak hanya berperan penting sebagai negosiator ulung, Hustler juga memegang tugas sebagai pemimpin melalui leadership skill-nya.
Dalam dunia digital, desain dan visualisasi menjadi faktor penentu keberhasilan sebuah produk. Selain itu, produk dengan experience mumpuni memberikan nilai tersendiri bagi penggunanya. Untuk itulah, Hipster dibutuhkan di dalam tim.
Hipster adalah sosok yang kreatif dan paham akan bangun rancang desain sebuah produk. Tidak sekadar melahirkan ide kreatif, Hipster juga harus memfokuskan idenya berdasarkan siapa pengguna produk tersebut. Dengan demikian, ia mesti memiliki rasa empati yang tinggi sehingga ia mampu mentranslasikan kebutuhan dan keinginan pelanggan menjadi rancangan desain yang sesuai.
Konsep tersebut merupakan bagian dari design thinking. Design thinking adalah proses perumusan dan pemecahan masalah yang berfokus pada manusia sebagai pengguna. Dalam ranah Hipster, proses ini dilakukan Product Designer atau UX Designer.
Desain hanyalah sebatas coretan garis dan kurva apabila tidak ada yang mengimplementasikannya. Maka untuk merealisasikannya, dibutuhkan seorang Hacker yang mampu mengubah desain menjadi produk.
Hacker memiliki keterampilan programming dan paham dengan teknologi sehingga membuatnya menjadi ujung tombak pengembangan produk. Ia sangat fokus dan teliti dalam pekerjaan yang berhubungan dengan mesin dan komputer—semua demi mewujudkan konsep menjadi nyata.
Baca juga: Peran Penting Usability Testing dalam Desain Produk BRI
Secara bertahap, BRI mulai mengaplikasikan konsep Hustler, Hipster, Hacker melalui program EMBRIO yang dimulai sejak 2021. EMBRIO adalah program corporate innovation lab BRI yang bertujuan untuk menginkubasi ide-ide inovasi dari karyawan BRI. EMBRIO hadir sebagai wadah pengembangan ide untuk menciptakan entrepreneur dan startup-startup kecil dalam sebuah perusahaan besar.
Salah satu tahapan EMBRIO adalah identifikasi persona. Di tahap ini, kandidat mengikuti persona assessment yang akan menentukan persona digital talent yang paling cocok—Hustler, Hipster, atau Hacker. Selanjutnya, ketiga persona ini akan menentukan peran masing-masing individu dalam pengembangan ide dan konsep inovasi.
Proses awal identifikasi persona di EMBRIO dilakukan melalui analisis karakter, minat, dan kecenderungan persona yang dimiliki karyawan. Tidak hanya berdasarkan asumsi pribadi karyawan, pengelompokkan persona juga dilakukan melalui hasil interview dengan tim EMBRIO terkait penyesuaian kriteria dan kualifikasi persona.
Identifikasi dan pengelompokkan persona bertujuan untuk memberikan tugas yang sesuai dengan kemampuan karyawan. Dengan begitu, pengembangan produk dapat berjalan maksimal dan hasilnya dapat lebih bersaing di industri digital.
Namun, sebelum adanya EMBRIO, fungsi ketiga persona tersebut sebenarnya telah ada di BRI sejak berlakunya BRIvolution 1.0, visi transformasi digital BRI yang dimulai pada tahun 2017. Saat itu, BRI mulai mengaplikasikan framework Scrum dan metode kerja Agile.
Melalui peran kunci seperti Scrum Master, Product Owner, dan Developer, framework Scrum membantu BRI mengembangkan berbagai produk digitalnya, seperti BRImo, BRILink, dan BRISPOT. Maka, sejak diadopsi BRI pada 2021, keberadaan “The Startup Triangle” kian melengkapi framework Scrum dan pola pengembangan Agile dalam penggalian ide inovasi produk.
Baca juga: Penggunaan Jira sebagai Project Management Tools di Divisi DCE BRI
Identifikasi persona Hustler, Hipster, Hacker hanyalah langkah awal BRI dalam mengoptimalkan kemampuan Insan BRILiaN. Langkah berikutnya adalah memulai program Digital Skills Management, sebuah inisiatif yang mulai dijalankan pada 2021.
Program dari divisi IT Strategy & Governance ini bertujuan untuk menginventarisasi kemampuan tech talent BRI berdasarkan Skills Framework for the Information Age (SFIA) dan identifikasi persona Hustler, Hipster, dan Hacker.
Inventarisasi kemampuan ini sangatlah penting, mengingat begitu banyaknya skills yang harus dikuasai Insan BRILiaN untuk suatu posisi tertentu. Maka, ketika skills tersebut sudah berhasil diinventarisasi dengan baik, kami dapat membuat program pengembangan (learning development) untuk mengisi skill gap yang dibutuhkan di setiap levelnya.
Misalnya, berdasarkan framework SFIA, seorang Programmer di level 2 harus bisa mendesain, melakukan coding, memverifikasi, menguji, mendokumentasi, mengubah, hingga melakukan restrukturisasi program script sederhana. Apabila Programmer tersebut ingin naik ke level 3, maka ia perlu melakukan seluruh tindakan tersebut untuk program script yang lebih kompleks.
Oleh karena itu, BRI dapat memaksimalkan potensi Insan BRILiaN dengan lebih terarah sekaligus terukur melalui inventarisasi kemampuan tech talent pada Digital Skills Management. Di luar itu, manfaat lainnya adalah pengembangan potensi karyawan di multibidang. Sehingga, karyawan dapat menambah skill-nya dan terus berkembang di bidang IT bersama BRI.
Keberadaan “The Startup Triangle” menjadi kunci keberhasilan sebuah perusahaan. Namun, perbedaan karakteristik masing-masing persona pastinya membuat Anda bertanya-tanya: bagaimana ketiganya bisa bersatu padu?
Sehebat apa pun skill yang dimiliki, tanpa adanya kolaborasi dan komunikasi yang baik, maka tidak akan terjalin kerja sama yang apik. Ketiganya memang memiliki expertise-nya masing-masing, tetapi di saat yang sama mereka pun harus menyadari kelemahan mereka yang dapat menjadi akhir bagi keberlangsungan tim.
Hustler, misalnya. Sebagai orang yang bertanggung jawab dalam pengembangan bisnis, ia bisa menempatkan risiko tinggi bagi tim apabila melakukan overselling ide. Di sisi lain, ide-ide kreatif dari Hipster belum tentu dapat diimplementasikan secara teknis oleh Hacker. Tak jarang pula, Hacker mengalami kesulitan ketika mengomunikasikan rancangan produk karena menggunakan bahasa yang terlalu teknis.
Maka, ketiganya harus bisa mencari titik temu untuk bisa mendemonstrasikan kerja sama yang baik di antara mereka. Baik Hustler, Hipster, maupun Hacker harus bisa saling mengimbangi dan menyeimbangkan diri melalui komunikasi dan kolaborasi secara kontinu.
Pada akhirnya, adopsi konsep “The Startup Triangle” memberi makna bahwa BRI bukanlah perusahaan kolot nan kaku. Kini, BRI berdiri sebagai perusahaan yang peka, adaptif, dan agile terhadap perkembangan teknologi.
Beragam role di bidang IT seperti Data Scientist, UX Designer, Cloud Engineer, hingga Blockchain Specialist telah disediakan. Berbagai program serta inisiatif demi meningkatkan kapabilitas Insan BRILiaN juga terus digalakkan demi mewujudkan BRI sebagai Home to The Best Talent.
Sebagai penutup, seluruh proses transformasi digital BRI nyatanya tetap berpedoman pada satu spirit: “Memberi Makna Bagi Indonesia”. Dengan semangat tersebut, BRI akan terus menjangkau setiap daerah demi meningkatkan inklusi keuangan serta menunjang peningkatan ekonomi masyarakat—memberi makna bagi Indonesia.
Doni Arzinal
Senior Manager
IT Strategy and Governance Division